Peran ilmu bahasa semakin besar dalam pemecahan masalah hukum di Indonesia. Kondisi itulah yang mendorong profesor ilmu psikolinguistik Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang (UNNES) mengembangkan subdisiplin baru bernama Linguistik Forensik. Untuk menunjang hal itu, ia baru saja menerbitkan buku dengan judul sama: Linguistik Forensik. Buku itu bisa dinikmati masyarakat dalam waktu dekat ini. Selain kondisi itu, dorongan untuk mengembangkan Linguistik Forensik juga tumbuh karena ia banyak terlibat dalam penanganan berbagai kasus, baik pidana maupun perdata. Menurut Subyantoro, di Inggris disiplin ilmu telah berkembang sejak tahun 1980-an. Di sana, publikasi mengenai subdisiplin itu juga sudah cukup banyak. Namun di Indonesia, kajian mengenai Linguistik Forensi masih relatif baru. Padahal, “Setelah media sosial muncul, semakin banyak kasus-kasus hukum yang memerlukan peran linguistik. Seperti penghinaan, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik,” katanya. Sebagai subdisiplin ilmu, menurutnya, Linguistik Forensik adalah cabang linguistik terapan yang paling baru. Linguistik Forensik memanfaatkan berbagai subdsiplin lain yang telah ada seperti fonologi, semantik, pragmatik, wacana, dan psikolinguistik. Menurutnya, pengembangan Linguistik Forensik harus harus dilakukan secara komprehensif dengan memanfatakan aneka subdisiplin yang sudah ada. Dengan begitu, hasilnya pun bersifat komprehensif dan lebih akurat. Dalam banyak kasus selama ini, ahli bahasa kerap memiliki pendapat yang berbeda saat menghadapi kasus. Hal itu terjadi karena simpulan ditarik berdasarkan kepakaran masing-masing. Ahli pragmatikhanya berdasarkan pragmatik, ahli wacana hanya menganalisis berdasarkan wacana, dan sebagainya. Karena itulah, agar Linguistik Forensi semakin berkembang, diperlukan kajian intas disiplin. Profesor yang akrab disapa Prof Bi ini yakin kajian ini semakin diperlukan. Oleh penegak hukum, misalnya, linguistik forensik diperlukan penyidik untuk menggali data yang akurat dalam wawancara dengan terduga atau tersangka pelaku tindak pidana. Di pengadilan, subdisiplin ilmu berguna untuk menilai apakah kesaksian saksi dapat dipercaya atau tidak. Berdasarkan pengalamannya terlibat dalam berbagai kasus, Subyantoro berpendapat lingustik forensik diperlukan dalam kasus perdata dan pidana. “Kalau perdata itu lebih banyak ke bahasa tulis. Kalau pidana lebih banyak ke bahasa lisan,” katanya. Jika ilmu itu diterapkan, subdisiplin ilmu ini juga akan berguna untuk mengidentifikasi keaslian barang bukti. Selama ini, pengujian kesahihan barang bukti dilakukan dengan teknologi informasi. Linguistik Forensik memungkinkan fitur-fitur linguistik seperti warna suara atau timbre dikaji untuk menguji kesahihan barang bukti. Dari aspek fonologi, bisa dikaji bahwa penciri vokal seseorang dengan orang lainnya juga berbeda. Agar memperoleh kajian yang baik, lanjutnya, Linguistik Forensik harus terbuka mengembangkan diri dengan menggandeng disiplin ilmu lain. Baik dalam internaal linguistik maupun dengan displin ilmu lain. Oleh karena itu, ke depan ia berencana melakukan penelitian bersama, salah satunya dengan skema penelitian payung. “Harus dilakukan kajian bersama. Ilmu ini akan semakin berkembang jika ada kerja sama lintas disiplin,” katanya.
from Universitas Negeri Semarang
No comments:
Post a Comment