Berjilbab itu,
Bukan Potongan
Bukan Celanaan
Bukan Press di Badan
Bukan Buka-bukaan
Bukan Potongan
Bukan Celanaan
Bukan Press di Badan
Bukan Buka-bukaan
Kewajiban Berjilbab
Sabab Nuzul
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (TQS al-Ahzab [33]: 59)
Dikemukakan Said bin
Manshur, Saad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari Abi Malik: Dulu isteri-isteri Rasulullah SAW keluar rumah
untuk keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik
mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab,
“Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja.” Lalu turunlah ayat ini yang
berisi perintah agar mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan
hamba sahaya.1
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
Yâ ayyuhâ an-Nabiyy qul li azwâjika wa banâtika wa nisâ’ al-Mu’mînîn
“Hai Nabi, katakanah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin).
Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah SAW.”
Allah SWT memerintahkan Nabi SAW untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah:
yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna
“hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka)”
Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari
kata jilbâb. Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama
mengenai kata jilbab.
1) Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ’ (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah.
2) Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ’ itu seperti as-sirdâb (terowongan).
3) Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-’Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.
4) Ada juga yang mengartikannya sebagai
milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang
menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya.
5) Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ’ah (baju kurung) yang menutupi wanita.
6) Al-qamîsh (baju gamis).
7) Meskipun berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah.
8) Bahwa jilbab adalah setiap pakaian
longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian
dapat dipahami dari hadis Ummu ‘Athiyah ra. :
Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk
keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig,
wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita
yang sedang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat
menyaksikan kebaikan dan
dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, salah seorang di
antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” Rasulullah SAW menjawab,
“Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya.” (HR Muslim).
Hadis ini, di samping, menunjukkan
kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah,
juga memberikan pengertian jilbab; bahwa yang dimaksud dengan jilbab
bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab,
jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak
mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam
rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak
terkategori sebagai jilbab.
Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri’
dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang berarti bawah,
rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan
yurkhîna (mengulurkan ke bawah).
9) Meskipun kalimat ini berbentuk khabar (berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas perintah sebelumnya.
10) Berkaitan dengan gambaran yudnîna ‘alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara
para mufassir. Menurut sebagian mufassir, idnâ’ al-jilbâb (mengulurkan
jilbab) adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya
sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya satu mata. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani,
11) dan as-Sudi.
12) Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi.
13) Sebagian lainnya yang menyatakan,
jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada hidung.
Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan sebagian
besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan
Qatadah.
14) Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya.
15) Ada pula yang berpendapat, wajah
tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah,
jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya,
16) sementara bagian di atasnya ditutup dengan khimâr (kerudung)
17) yang juga diwajibkan (QS. an-Nur [24]: 31).
Pendapat ini diperkuat dengan hadis Jabir ra. Jabir ra. menceritakan: Dia
pernah menghadiri shalat Id bersama Rasulullah SAW. Setelah shalat
usai, Beliau lewat di depan para wanita. Beliau pun memberikan nasihat
dan mengingatkan mereka. Di situ Beliau bersabda, “Bersedakahlah karena
kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar neraka.” Lalu seorang wanita
yang duduk di tengah-tengah wanita kaum
wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (saf’â al-khaddayn) bertanya,
“Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kalian banyak
mengadu dan ingkar kepada suami.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Deskripsi Jabir ra. bahwa kedua pipi
wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW kedua pipinya
kehitam-hitaman menunjukkan wajah wanita itu tidak tertutup. Jika hadis
ini dikaitkan dengan hadis Ummu Athiyah yang mewajibkan wanita
mengenakan jilbab saat hendak mengikuti shalat Id, berarti jilbab yang
wajib dikenakan itu tidak harus menutup wajah. Sebab, jika pakaian
wanita itu bukan jilbab atau penggunaannya tidak benar, tentulah
Rasulullah SAW akan menegur wanita itu dan melarangnya mengikuti shalat
Id. Di samping hadis ini, terdapat banyak riwayat yang menceritakan
adanya para wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan umum.
Penafsiran ini juga sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. an-Nur (24) ayat 31:
Wa lâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ
“Dan janganlah mereka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya.”
Menurut Ibnu Abbas, yang biasa tampak
adalah wajah dan dua telapak tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur
menurut jumhur ulama.
18) Pendapat yang sama juga dikemukakan
Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Said bin Jubair, Abu asy-Sya’tsa’,
adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai,
19) dan al-Auza’i.
20) Demikian juga pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-’Arabi.
21) Meskipun ada perbedaan pendapat
tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab
yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk di
dalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW :
“Siapa saja yang menyeret bajunya
lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.” Ummu
Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?”
Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi,
“Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah SAW
bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini, jilbab yang
diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki
wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya menjadi
najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang
dilewati berikutnya akan mensucikannya. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi,
dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu al-Walad Abdurrahman bin Auf; ia
pernah bertanya kepada Ummu Salamah ra. tentang ujung pakainnya yang
panjang dan digunakan berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah
menjawab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Yuthahhiruhu mâ ba’dahu
(Itu disucikan oleh apa yang sesudahnya).
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
Dzâlika adnâ an yu’rafna falâ yu’dzayn
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu.”
Maksud kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ berarti aqrab (lebih dekat).
22) Yang dimaksud dengan lebih mudah
dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan
jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan
budak.
23) Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.
Patut dicatat, hal itu bukanlah ‘illat
(sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi
pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah
hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban
berjilbab, baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak,
tidaklah berubah.
Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang
amat menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan bagi
manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur melakukan
perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya.
Mendatangkan Kebaikan
Ayat ini secara jelas memberikan
ketentuan tentang pakaian yang wajib dikenakan wanita Muslimah. Pakaian
tersebut adalah jilbab yang menutup seluruh tubuhnya. Bagi para wanita,
mereka tak boleh merasa diperlakukan diskriminatif sebagaimana kerap
diteriakkan oleh pengajur feminisme. Faktanya, memang terdapat perbedaan
mencolok antara tubuh wanita dan tubuh laki-laki. Oleh karenanya, wajar
jika ketentuan terhadapnya pun berbeda. Keadilan tak selalu harus sama.
Jika memang faktanya memang berbeda, solusi terhadapnya pun juga tak
harus sama.
Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum
akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup
jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan
jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan
jika tidak ada stimulus yang merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban
berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan manusia
terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat
dilarang oleh Islam.
Fakta menunjukkan, di negara-negara
Barat yang kehidupannya dipenuhi dengan pornografi dan pornoaksi, angka
perzinaan dan pemerkosaannya amat mengerikan. Di AS pada tahun 1995,
misalnya, angka statistik nasional
menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa setiap menitnya. Berarti, setiap
jamnya 78 wanita diperkosa, atau 1.872 setiap harinya, atau 683.280
setiap tahunnya!24 Realitas ini makin membuktikan kebenaran ayat ini:
Dzâlika adnâ an yu’rafna falâ yu’dzayn (Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu).
Bagi wanita, jilbab juga dapat
mengangkatnya pada derajat kemuliaan. Dengan aurat yang tertutup rapat,
penilaian terhadapnya lebih terfokus pada kepribadiannya, kecerdasannya,
dan profesionalismenya serta ketakwaannya. Ini berbeda jika wanita
tampil ‘terbuka’ dan sensual. Penilaian terhadapnya lebih tertuju pada
fisiknya. Penampilan seperti itu juga hanya akan menjadikan wanita
dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi hawa nafsu saja.
Walhasil, penutup ayat ini harus menjadi
catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban jilbab. Wa kânaLlâh
Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini
memberikan isyarat, kewajiban berjilbab tersebut merupakan salah satu
bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya. Siapa yang tidak mau
disayangi-Nya?!
Sumber Tulisan : Majalah Al-Wai’e
Sumber : detikislam.com
No comments:
Post a Comment