Pisang merupakan tanaman yang kaya manfaat. Mulai dari buah hingga pelepahnya dapat diolah sebagai makanan maupun kerajinan tangan. Bahkan, berkat kreativitas mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), kulit pisang pun dapat digunakan sebagai sampo.
Inovasi tersebut lahir dari tiga mahasiswa jurusan Kimia UNY, yakni Wijayanti, Danish Oktaviana, dan Annisa Sholihahwati. Menurut Wijayanti selaku ketua tim, kulit pisang mengandung 14,28 persen kalium.
"Potensi kandungan kalium ini dapat dikembangkan untuk pembuatan shampo alami. Kulit pisang yang telah dijemur hingga kering kemudian dibakar sampai terbentuk bara. Bara tersebut kemudian direndam dengan menggunakan air bersih selama tujuh hari sehingga akan menghasilkan cairan basa yang dapat digunakan sebagai shampo," urai Wijayanti, seperti dinukil dari situs UNY, Rabu (1/1/2014).
Kalium yang membentuk spesi basa itu, katanya, akan bereaksi dengan pengotor rambut seperti keringat yang bersifat asam sehingga akan terjadi reaksi penetralan. Sampo dari kulit pisang itu dibuat dari kulit pisang raja dan kulit pisang kepok. Kedua jenis tersebut dipilih karena cukup mudah diperoleh.
Wijayanti menjelaskan, penelitian tahap pertama dalam pembuatan sampo kulit pisang raja adalah memilih kulit pisang yang baik. Kulit pisang yang dipilih adalah kulit pisang yang belum berjamur.
Pada pembuatan shampo ini, kulit pisang yang digunakan sebanyak 2 kilogram berat kulit pisang basah. "Setelah itu, kulit pisang dibersihkan dan dijemur di bawah sinar matahari langsung agar dapat kering sempurna untuk mempermudah proses pembakaran. Berat kulit pisang yang sudah kering adalah sekitar 700 gram," jelasnya.
Langkah selanjutnya adalah membakar kulit pisang tersebut. Kulit pisang yang telah terbakar dan menjadi bara segera dimasukkan ke dalam ember berisi dua liter air. Biarkan rendaman tersebut selama tujuh hari.
Setelah tujuh hari, tampak cairan berwarna cokelat kehitaman. Warna hitam disebabkan oleh arang kulit pisang, sehingga harus dilakukan penyaringan. Filtrat yang dihasilkan kemudian diberi arang aktif yang diharapkan mampu menjerap warna cokelat sehingga tampilan warna lebih jernih.
"Setelah dibiarkan selama dua hari, warna cairan menjadi kekuningan. Cairan ini terasa sangat licin. Cairan tersebut yang nantinya digunakan sebagai shampo. Langkah selanjutnya adalah menguji pH shampo tersebut. Dari pengujian diketahui bahwa pH shampo adalah 11,5 yang berarti bahwa shampo tersebut basa," papar Wijayanti.
Berlanjut ke penelitian tahap kedua, yakni pembuatan sampo dari kulit pisang kepok. Wijayanti menyebut, prosedur dan jumlah bahan yang digunakan sama dengan pembuatan sampo dari kulit pisang raja. Namun, pada penelitian kedua ini tidak menggunakan arang aktif karena cairan yang dihasilkan tidak terlalu berwarna cokelat dan keruh. Selain itu, pH dari sampo kulit pisang kepok ini adalah 11 yang juga berarti bahwa produk bersifat basa.
Setelah kedua jenis sampo selesai diuji secara kimiawi, selanjutnya adalah melewati pengujian organoleptik dan penerimaan masyarakat. Uji organoleptik merupakan uji berdasarkan indera manusia.
"Untuk produk sampo kulit pisang ini, parameter yang diuji adalah warna dan bau. Dari hasil pengujian, warna kedua jenis sampo cenderung kuning kecokelatan sedangkan untuk uji bau dinyatakan tidak berbau,” tutupnya.
Uji penerimaan masyarakat menggunakan sembilan panelis untuk mencoba kedua produk sampo tersebut. Dari pengujian tersebut diperoleh data, sampo yang lebih diminati oleh panelis adalah shampo dari kulit pisang raja yang memiliki warna kekuningan dengan pH 11,5.
Sumber: Okezone.com
No comments:
Post a Comment