Ketua Majelis Profesor Universitas Negeri Semarang (UNNES) Prof Dr Drs Mungin Eddy Wibowo MPd memberikan nasihat bijak kepada para kepala sekolah, guru, khususnya guru Bimbingan dan Konseling, serta para siswa agar kondisi sekolah menjadi sehat dan nyaman untuk proses belajar mengajar.
Guru besar pada bidang ilmu Bimbingan Konseling menegaskan agar kondisi sekolah menjadi sehat dan nyaman cara yang dilakukan yakni dengan setop perudungan.
“Setop bullying! Setop perudungan! Maka sekolah kalian akan menjadi sehat dan nyaman untuk kegiatan belajar mengajar,” kata Prof Mungin di hadapan 60 guru Bimbingan dan Konseling se-Kota Semarang yang menjadi peserta pengabdian kepada masyarakat UNNES, Rabu, 24 Agustus 2022.
Pengabdian kepada Masyarakat UNNES yang diadakan di aula SMA Negeri 1 Semarang tersebut bertemakan “Pelatihan konseling multikultural berbasis budaya Jawa untuk meningkatkan kerukunan siswa”.
Kepada 60 guru Bimbingan dan Konseling yang tergabung dalam Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) Kota Semarang tersebut, Prof Mungin menambahkan, agar mencapai konseling yang efektif, maka konselor harus peka (aware) dengan budaya yang nantinya dapat menunjang pemahaman budaya klien, dalam hal ini para siswa.
“Langkah pertama adalah mengenal budaya sendiri,” kata Prof Mungin.
Prof Mungin mengatakan bahwa setelah konselor mendapatkan pengetahuan kultural tentang dirinya dan klien, langkah berikutnya mengembangkan strategi yang cocok untuk penilaian dan penanganan.
“Dalam meningkatkan kerukunan, pemahaman dan pesan untuk dipraktikkan yakni pada karakter rendah hati ini akan menjadikan dasar pengembangan karakter lain seperti pemaaf, bersyukur, penuh harap, welas kasih, toleransi, dan karakter lainnya,” ujarnya.
Menurut Prof Mungin, dengan memegang teguh karakter rendah hati maka akan meningkatkan rasa gotong royong, kebersamaan, minimalisir konflik maka akan menciptakan kerukunan dan pergaulan antar-siswa.
“Hal-hal inilah yang akan membentuk iklim sekolah menjadi sehat, anti-bullying, tidak ada perundungan, tawuran dan konflik sosial antar-siswa,” tambah pemateri lain, yakni Rohmatus Naini MPd.
hal itu dibenarkan oleh para peserta. Bahwa selama ini dalam interaksi dengan para peserta, sekolah memang selalu berupaya dalam menumbuhkan rasa rukun antarsesama agar aman dan nyaman dalam proses pembelajaran, ujar salah satu peserta.
Sementara itu pemateri lain, Farida MSi menambahkan, salah satu alternatif yang dapat diterapkan yakni konseling multikultural berbasis budaya Jawa dengan tepo seliro atau tenggang rasa didasari keluhuran budi pekerti yang halus.
“Tepo seliro atau tenggang rasa mengedepankan sikap keramah tamahan dalam bersosialisasi dengan masyarakat,” katanya.
Farida menambahkan, sehubungan dengan itu, keadaan Bangsa Indonesia saat ini perlu menjadi perhatian bersama.
Di mana dalam kehidupan nyata saat ini (sebagaimana tersebar di medsos sehari-hari) banyak diwarnai dengan berbagai umpatan, hujatan, dan cacian.
“Bahkan tidak sedikit yang sampai beradu fisik. Seolah tenggang rasa dan tepo seliro sudah tidak ada lagi.”
Salah satu penyebabnya adalah, kata Farida, antar-individu ataupun kelompok mayoritas yang benar dan besar.
“Seolah tidak ada lagi rasa saling hamemayu hayuning bawono (menjaga kedamaian dan keselarasan) sesama anak bangsa,” jelasnya.
Lebih lanjut Prof Mungin Eddy Wibowo menjelaskan bahwa pengabdian kepada masyarakat Unnes bersama MGBK Kota Semarang dengan label “Pelatihan peer support group anti-bullying untuk meningkatkan empati dan humility pada siswa,” ini tidak hanya penting bagi para guru Bimbingan dan Konseling, namun juga para pemangku kepentingan dan penentu kebijakan dunia pendidikan.
Sebab, bullying atau perudungan merupakan penindasan yang mempengaruhi sejumlah besar anak-anak dan meletakkan dasar untuk risiko jangka panjang untuk psikologis, fisik, dan hasil psikosomatik,” tegasnya.
Memang, kata Prof Mungin, bullying atau perudungan adalah kejadian umum di lingkungan sekolah di seluruh dunia.
Bullying sering kali dilakukan secara langsung, melibatkan agresi fisik seperti seperti memukul, mencuri, dan mengancam dengan senjata.
“Contoh bullying langsung dapat berupa agresi verbal seperti menyebut nama, penghinaan publik, dan intimidasi.”
Penindasan juga bisa tidak langsung dan dapat melibatkan agresi relasional seperti menyebarkan desas-desus, penolakan sosial, pengucilan dari kelompok teman sebaya, dan mengabaikan.
“Kita masuk di era di mana teknologi menciptakan tempat unik untuk cyberbullying di internet dan melalui jejaring sosial yang dapat langsung atau tidak langsung,” ujarnya.
Merujuk penelitian Kustati (2015) bahwa kasus bullying di Kota Semarang sangat variatif di berbagai jenjang.
Tahun 2020 terdapat 76 siswa sebagai korban bullying dan sebanyak 12 siswa menjadi pelaku bullying.
Tidak hanya bullying secara langsung, sebanyak 163 siswa menjadi korban cyberbullying di tahun 2019-2020 dan sebanyak 119 siswa menjadi pelaku bullying.
“Pengabdian kepada masyarakat dengn MGBK Kot Semarang ini fokus sebagai upaya peningkatan layanan bimbingan dan konseling sebagai bentuk preventif. Kami berharap dengan kegiatan pelatihan support group anti-bullying, iklim sekolah menjadi lebih menyenangkan dan memunculkan keamanan oleh seluruh elemen sekolah. Sebagaimana diketahui, peer support merupakan bentuk pembelaan melalui pelatihan tentang bagaimana menanggapi kesusahan teman sebaya,” katanya.
Tim pengabdian yang diketuai oleh Prof Mungin Eddy Wibowo tersebut beranggotakan mahasiswa S3 Rohmatus Naini MPd dan Farida MSi, serta mahasiswa S2 Nailu Rokhmatika.
from
Universitas Negeri Semarang