Karawitan merupakan bagian penting dalam budaya Jawa. Hampir semua jenis seni pertunjukan tradisi dan upacara ritual adat Jawa menggunakannya sebagai musik pendukung. Bagi masyarakat Jawa, struktur kultural kelompok orang yang berorientasi pada kehidupan masyarakat Jawa multidimensional, karawitan tidak hanya sebagai ekspresi musikal untuk memenuhi kebutuhan rasa hibur tetapi juga rasa sosial, kultural, dan spiritualnya. Nilai-nilai filosofis mendasar yang berlaku dalam budaya Jawa terefleksi dalam budaya karawitannya.
Demikian diungkapkan Widodo, mahasiswa S-3 Pengkajian Seni Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, yang mempertahankan disertasinya berjudul Konsep Laras dalam Karawitan Jawa, Rabu (16/8), di kampus Jalan Suryodiningratan, Kota Yogyakarta. Tim penguji diketuai Prof Dr Djohan MSi dan beranggotakan Prof Dr Victor Ganap MEd, Prof Dr Soetarno DEA, Prof Dr Rustopo SKar, MHum, Dr St Sunardi, P Hardono Hadi PhD, dan Dr Royke B Koapaha.
Menurut Widodo yang dosen Jurusan Seni Drama Tari dan Musik Universitas Negeri Semarang itu, karawitan sebagai produk tradisi lisan budaya Jawa lekat dengan sifat komunal, spontan, terbuka, toleran, lembut, fleksibel, tetapi di lain pihak juga sarat akan norma musikal dan kultural kompleks yang membentuk kesan ngrawit, halus, lembut, rumit. Dilihat dari usianya, mengutip Pradjapangrawit (1990), Widodo menjelaskan, gamelan telah ada sejak sekitar tahun 167 Jawa atau 245 Masehi. “Karawitan telah melewati dinamika keadaan zaman yang panjang dan dinamis,” katanya.
Ia menjelaskan, rasa dalam karawitan Jawa memiliki makna dan kedudukan sangat penting sebagai landasan, orientasi, parameter, bahkan juga saluran estetik untuk mencapai hakikat keindahan musikal dan kulturalnya dalam proses apresiasi seni. Rasa dalam konteks tersebut merupakan puncak persepsi estetik yang menyatukan subjek dan objek seni. Jenis rasa karawitan esensial dan universal pada gending-gending Jawa yang dapat mencakup seluruh jenis, bentuk komposisi, dan karakter musikalnya adalah laras.
Sajian komposisi karawitan Jawa dalam jenis, bentuk, dan karakter musikal apapun dapat menimbulkan rasa laras. Namun rasa laras tidak serta merta dapat disandangkan pada semua sajian jenis, bentuk, dan karakter gending. Pemberian predikat laras berhubungan dengan sajian komposisi karawitan Jawa yang bagian-bagiannya digarap dalam model garap tertentu sehingga karakter musikalnya terekspresi secara kuat dalam penyajian sesuai fungsi pertunjukannya.
Fenomena laras muncul pada beberapa peristiwa karawitan yang dipilih Widodo sebagai objek kajian, yaitu klenèngan Pujangga Laras, penyajian karawitan langsung menghadirkan penggarap kelompok karawitan Pujangga Laras, dengan materi garap gending-gending Jawa klasik; klenèngan dalam media rekam audio komersial produksi Lokananta dan Ira Record menghadirkan penggarap Keluarga Karawitan Studio RRI Surakarta dan kelompok karawitan PKJT bersama ASKI Surakarta dengan materi garap gending-gending Jawa klasik; konser karawitan Jawa dalam Lomba Karawitan Gending-gending Dolanan RRI Surakarta 2013 menghadirkan penggarap kelompok karawitan peserta lomba kategori remaja juara pertama dengan materi garap lelagon dolanan; dan konser karawitan Sindhèn Idol 2012 menghadirkan penggarap vokal sindhènan pesindhèn finalis juara pertama didukung oleh para musisi karawitan profesional gabungan dari beberapa kelompok karawitan ternama di Kota Semarang sebagai penggarap ricikan (instrumen gamelan) gamelan.
Laras dalam Penggunaan Umum
Berdasar penelitian Widodo, laras dan kata-kata bentukannya digunakan oleh masyarakat Jawa dalam banyak konteks, antara lain, panglaras dan ginem raras bawa raos dalam sarasehan; selaras dalam kehidupan sosial; nglaras rasa, pengelolaan rasa batin individu; dan laras sebagai jenis rasa atau suasana indah. Mengutip Susena (2003), Widodo menyatakan, interaksi sosial masyarakat Jawa didasarkan pada prinsip hormat dan rukun demi terwujudnya keadaan selaras.
Ekspresi tutur kata, sikap, dan perilaku yang didasari oleh nilai rukun dan hormat dapat menjamin interaksi sosial dalam kehidupan beragam dapat berlangsung aman, damai, nyaman jauh dari perselisihan. Kewajiban semua elemen masyarakat Jawa untuk menjaga dan mewujudkannya dalam kehidupan sosial mengalahkan kepentingan individu dan prinsip-prinsip regulatif, termasuk hukum positif. Istilah selaras dalam konteks ini berasal dari kata laras, yaitu keadaan sosial aman, nyaman, damai, jauh dari perselisihan dan konflik.
Widodo menjelaskan, kajian garap gending-gending Jawa dalam beberapa peristiwa penyajian karawitan berikut rasa karawitan yang ditimbulkan mengantarkan pada sejumlah kesimpulan. Laras, menurut Widodo, merupakan jenis rasa, suasana atau kesan musikal dan kultural karawitan indah, enak, nyaman mendalam, menyeluruh, dan mengesankan. Dengan demikian, laras mengandung unsur mat, lega, betah, adhem, ayem, tentrem, jinem, sengsem, marem yang muncul dari sajian gending-gending Jawa yang digarap secara benar, jelas, merata, berimbang, dinamis, kompak, dan menyatu dalam satu kesatuan ide-ide garap. “Semua itu membentuk pusat-pusat keseimbangan ‘sempurna’ yang disebut titik berselaras,” ujar Widodo.
Widodo dinyatakan lulus dengan hasil memuaskan dan merupakan doktor ke-38 pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta atau ke-17 dalam bidang pengkajian seni. “Selamat untuk Universitas Negeri Semarang. Sebagai lembaga pendidikan, semoga keilmuan yang dimiliki Widodo semakin dapat dimanfaatkan dalam bidang karawitanologi,” ujar Prof Victor Ganap.
from
Universitas Negeri Semarang